Lamaran yes Lamaran






Alangkah senangnya hatiku, tidak lama lagi kekasih hatiku hendak melamarku. Impian untuk sebuah keluarga yang penuh cinta sudah dihadapan mata. Setiap hari terbayang sudah olehku dimana aku terbangun pagi pagi buta untuk suamiku. Kurebus air, lalu buatkan suamiku secangkir kopi. Kumasak masakan kesukaannya, dan kurapihkan pakiannya. Kusemirkan sepatu untuknya Kami makan bersama, nyambi bercanda tawa, berkasih kasihan serta saling mendoakan. Berharap mempunyai anak yang cukup. Kalau bisa empat. Dua laki laki, dua perempuan. Dan kami tinggal dirumah besar yang sederhana.
 Aku sudah lama sekali membangun hubungan dengan kekasihku itu. Dia sangat mencintaiku. Namanya Bambang Susanto, tapi aku akrab memanggilnya mas Bam. Pertama kali aku jadian dengan mas Bam aku masih SMA kelas sebelas, kerena aku dan mas Bam masih alay. Aku memanggil mas Bam mengikuti trend pada saat itu. Aku memanggil mas Bam dengan sebutan ‘Ayah’ mas Bam manggil aku dengan sebutan ‘Bunda’.
 “Bunda sayang, sudah mamam belum nih” tanya Mas bam lewat SMS. Dengan gaya ketikan campur aduk, huruf kapital dikombinasikan dengan huruf kecil.
“beyum, nih yah, males Bunda mau mamam” balasku dengan nada penuh manja, ketikanku pun sama, kombinasi antara huruf kapital dan hurup kecil. Dengan hati deg deg ser aku menunggu balasan sms dari mas Bam. Aku penasaran mas Bam hendak balas apa. Grrtttt..... grrtttt.. handphoneku bergetar aku langsung membukanya.
“eah mamam dong, bunda. Nanti kalau nggak mamam bunda cakit” balas mas Bam dengan sok manjanya. Aku cengar cengir senang membacanya. Dan sms itu hingga kini masih aku simpan, dan aku masih sering membukanya ketika aku kangen dengan mas Bam. Dan ketika aku baca sms itu, aku merasa geli, dan jijik sendiri. Aku baru sadar kalau gaya bicaraku dulu  lebay. Aku juga risih membaca sms itu terlebih lagi pada kata Ayah Bunda, Ayah, Bunda. Tapi tidak hanya itu aku dan mas Bam pernah lebih gila lagi. Aku pernah memanggil mas Bam dengan sebutan Momo, dan mas Bam memanggilku dengan sebutan Mimi. Itu pada waktu aku kelas 12. Biasa aku ikutan tren gaya pacaran pada waktu itu.
“Mimi, bentar lagikan kita lulus kita langsung nikah aja ya mi” mas Bam memulai pembicaraan. Aku kaget dengan apa yang dibicarakan. Aku langsung berpikir keras menilai mas Bam pada saat itu. Aku nilai mas Bam ini orang yang suka ngayal, dan suka bertindak tanpa pikir panjang. Tapi aku juga suka dengan pernyataannya, dia ingin menikah denganku artinya selama ini dia serius mencintaiku. Ah aku semakin terbang melayang dibuatnya.
“ah, momo ngomongin apaan sih, kita kan masih kecil, mo. Aku mau kuliyah dulu. Dan kamu mau kerja dulu” jawabku santai, sambil menatap matanya. Dan mas Bam menatap mataku juga. Wah, sumpah rasanya semakin nggak karu karuan, sebab selama dua tahun pacaran, duduk berduaan saling tatap muka begini baru sekali ini. Ah ternyata Momoku lebih tampan di pandang dari dekat. Kalau tahu begini dari dulu aku selalu mau kalau di ajak mas Bam jalan. Huahhhh......
“ih, mimi ini loh ngeliyatnya gitu” tangan mas Bam mengusap wajahku lembut.
“aku serius loh mi, pengin nikah cepet sama kamu. Pokoknya habis lulus ini kita nikah ya? ” dan sekarang tangan mas Bam memegang jemariku. Aku tak sanggup berkata apapun. Oh Tuhan, ini cowok begini amat, pikirku dalam hati. “ momo seriusan?” tanyaku pelan.
“iya serius, mi” Dari sejak saat itu arah dan tujuan hubunganku dengan mas Bam sudah terarah, kami saling berkomitmen untuk memiliki mimpi bersama, yaitu rumah tangga yang sakinah mawadah warohmah. Dan sejak saat itu aku pansiun untuk memanggil dengan sebutan Momo, dan diapun ikut pangsiun dan mulai memanggilku dengan sebutan dek. Dan aku rasa itu lebih sederhana tapi juga justru lebih romantis, tak seperti drama lagi.
Setelah lulus sekolah, terjadi masalah dalam hubungan kita. Itu disebabkan karena pihak keluargaku belum mengizinkan aku untuk menikah. Orangtuaku belum yakin sepenuhnya yakin dengan mas Bam. Mereka khawatir kalau aku nikah dengan mas Bam masa depanku akan jadi apa. Masih cilik-cilik sudah menikah, mana belum punya kerjaan yang mapan. Mau di makanin apa anak dan istrinya. Aku sedih dan kecewa sekali dengan orangtuaku yang tak menyetujui kami menikah. Aku jengkel dan aku marah. “ndo kamu itu masih muda banget, kamu belum pantas ndo untuk nikah, cari dulu ndo pengalaman yang banyak, menikah itu bukan hal mudah, tanggung jawab dan bebannya itu besar ndo.” Ibu menasehati tak henti-henti, aku tahu kekhawatiran ibu.
“iya Alloh ibu, iya ibu Nemi tau, tapi nikahkah perbuatan terpuji ibu, nikahah sunah rosul. Nemi dan mas Bam merasa sudah mampu untuk melaksanakan sunah itu bu, Nemi yakin mas Bam orang yang tanggung jawab.” Jawabku kepada Ibu, mencoba memberi pengertian.walau sebenarnya aku juga tahu apa yang ibu katakan benar, aku masih terlalu muda, dan aku belum memiliki pengalaman apapun selain sekolah. Lagi pula benar juga bahwa mas Bam belum punya kerjaan yang mapan. Aku juga memikirkan ke arah sana. Aku pun tak mau kalau sudah menikah nanti, aku kelaparan, dan banyak hutang. Naudzubillah. Ya semoga mas Bam segera mendapat pekerjaan yang layak dan mapam lah. Setidaknya bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga yang pokok dan sekunder dulu.
Setelah beberapa bulan berlalu, mas Bam datang kerumahku. Tapi tidak menemuiku melaikan menemui Ibuku.
“Bu Alhamdullilah, Bam sudah punya kerjaan” aku mendengar suara mas Bam membuka pembicaraan. Suaranya datar, santai, meyakinkan. “ Syukur deh, Ibu ikut senang,nak” jawab ibuku sekenanya, sepertinya ibu sedang malas ngobrol dengan mas Bam. Padahal biasanya Ibuku senang sekali ngobrol dengan kekasihku itu. Ah, mungkin ibu lagi sedikit kesal dengan mas Bam karena terlalu terburu buru ingin menikahiku. “Bam, sudah buka bengkel motor sendiri,bu” suara Bam memecahkan keheningan. Aku kaget, wah hebat juga mas bam sudah buka bengkel sendiri. Modal dari mana dia ? tanyaku dalam hati. “oh baguslah, semoga usahamu lancar, nak. Kamu masih harus banyak belajar dan cari pengalaman mumpung masih muda. Kalau sudah tua nanti mah sudah susah kalau mau cari pengalaman” jawab ibu menasehati, ibu masih saja skeptis. “ jadi gimana bu, Bam sudah di izinkan melamar Nemi kan ?” tanya mas Bam hati hati, aku semakin seksama menguping pembicaraan mereka. “ah nak Bam, kamu ini ada ada saja” aku mulai ragu, waduh apa yang akan ibu katakan. Jangan sampai Ibu masih tak mengizinkanku. “ iya minggu depan kamu boleh melamar anakku, ajak orangtuamu kemari” lanjut ibu, aku tersentak kaget namun terasa lega. Yesss.... yes... minngu depan aku akan lamaran lamaran yeyey lamaran lamaran. aku berjoget ria di atas kasur, di dalm kamarku. Oh mas Bam kekasih hatiku, pandai sekali kau meyakinkan Ibuku, aku bangga padamu. I love you...... pokoknya. Aku langsung keluar kamar menuju ruang tamu untuk menemui mas Bam dan ibuku. Aku bahagia sekali malam ini. “terimakasih ibu” aku memeluk Ibu dan mencium pipi Ibu dihadapan mas Bam, mas Bam tersenyum geli sekaligus iri. “kamu nanti aja mas, kalau kita sudah nikah” mas Bam lalu tertawa. Kami bertiga bercengkrama.

*cerpen ini pernah di post oleh Siti Nurwinda (Nurwindast) di kompasiana.com
*ini cerpen buat tes saja ngisi blog baru yang masih prematur harap maklum 
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.